Ushul Fikih: AL-‘AM DAN AL-KHAS, MUTLAK DAN MUQAYYAD
http://www. fatimah_mardy.com
AL-‘AM
DAN AL-KHAS, MUTLAK DAN MUQAYYAD
Makalah
Ini Dibuat Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fikih
Dosen
Pengampu: Abdul Salam, M.A.

Disusun
Oleh:
Karin
Maria Wibisana
Siti
Fatimah
Suhaila
Zahra Bariah
Noval
Edison
PPRODI
PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
ALMA ATA YOGYAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu Ushul
fiqh adalah salah satu Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai
pendekatan dalam mengkaji Islam, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang
dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah
yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh
akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara
kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi
kebahasaan, salah satunya adalah lafadz ‘am dan lafadz khas, mutlak dan
muqayyad. Makalah ini akan membahas lafadz ‘am dan lafadh khas secara lebih
mendalam.
Di dalam
pembahasan tentang mutlak dan muqayyad merupakan hal yang paling terpenting
untuk dijelaskan karena seseorang yang tidak mengerti akan perbedaan dari
masing-masing keduanya sehingga seseorang yang belajar ilmu fiqh dan dia tidak
mengerti akan perbedaan dari mutlak dan muqayyad akan terjadi kesalahpahaman
dalam mengartikansebuah ayat atau kitab lainnya.
Hukum lafadz mutlak dan muqayyad merupakan pembahasan
yang sangat penting seperti halnya seseorang yang memahami hadis yang berbunyi
“sesesorang yang membunuh orang mukmin secara tidak sengaja maka dia harus
memerdekakan hamba sahaya” di hadis ini banyak orang yang keliru pemahaman
karena dia tidak memahami makna dari mutlak dan muqayyad. Sehingga mereka
mereka memahami hamba sahaya yang mutlak artinya baik hamba yang kafir atau
yang islam, sebenarnya pada keterangan tersebut di batasi artinya hamba sahaya
yang muslim.
Dan didalam pembahasan ushul fiqh yang banyak terjadi
kesalahpahaman itu terletak pada pembahasan mutlak dan muqayyad. Memang
pembahasan tersebut sangat sulit sehingga seseorang dalam memahami ayat tidak
cukup memahami secara dhahir saja. akan tetapi harusmengetahui tentang mutlak
dan muqayyad atau memahami tafsiran ayat tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud
al-am dan al-khas?
2. Apa saja macam-macam
al-am dan al-khas?
3. Apa saja kaidah-kaidah
al-amm dan al-khas?
4. Apa yang dimaksud
mutlak dan muqayyad?
5. Apa saja bentuk dan
hukumnya mutlak dan muqayyad?
6. Apa saja yang
diperselisihkan dalam mutlak dan muqayyad?
C.
Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa
itu al-am dan al-khas
2. Untuk mengetahui
macam-macam al-am dan al-khas
3. Untuk mengetahui
kaidah-kaidah al-am dan al-khas
4. Untuk memberi
pemahaman tentang mutlak dan muqayyad
5. Untuk mengetahui
bentuk dan hukum mutlak dan muqayyad
6. Untuk mengetahui apa
saja yang diperselisihkan dalam mutlak dan muqayyad
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Al-am dan Al-khas
a.
Pengertian
Al-am
Lafadz ‘Am (kata umum) adalah lafadz yang digunakan
secara umum dalam menunjukkan suatu makna yang layak, sesuai dengan lafadz itu
sendiri dan makna yang terkandung di
dalamnya tidak dibatasi dengan jumlah tertentu. Adapun jika dilihat dari segi
bahasa, lafadz ‘am memiliki pengertian umum atau merata.[1]
'Am
secara bahasa adalah شمول (mencakup) dan dalam istilah ialah lafaz yang
mencakup seluruh anggota-anggotanya. Misal lafaz رجل (seorang laki-laki), lafaz ini menunjukkan suatu arti
yang mencakup semua satuan-satuannya. Lafaz
إنسان juga termasuk
lafaz 'am, karena mencakup setiap satuan manusia sekaligus[2].
Seperti dalam firman Allah SWT:
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ
خُسْرٍ
"Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian". (QS. Al-Ashr: 2)
Dalam
ayat tersebut terdapat lafaz insan (manusia), menunjukkan arti umum karena
mencakup seluruh manusia baik yang beriman maupun tidak beriman.
Jadi,
dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan lafaz 'am adalah suatu lafaz yang menunjukkan sesuatu secara
menyeluruh dan mencakup satuan-satuan atau anggota-anggotanya, tanpa ada
batasan. Jika suatu lafaz menunjukkan batasannya maka bukan dinamakan lafaz
'am, seperti kata رجلين (dua orang laki-laki) yang dibatasi dengan عدد (jumlah) "dua, tiga", begitupun
seterusnya.[3]
b.
Lafadz-lafadz
Al-am
1. Kullun
dan jami’un
Contoh kullun:
كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap jiwa pasti akan merasakan
kematian”.(QS. Ali Imron: 185)
Contoh jami’un: خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِي الْٱَرْضِ جَمِيْعًا
"“Dijadikan untuk kamu segala yang ada di
bumi". (QS. Al-Baqarah: 29)
2.
Isim Syarat (man, maa aina)
Contoh
man: فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa
diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa
di bulan itu”.(QS. Al-Baqarah: 185)
3. Isim Istifham (man, maa, aina dan mata)
Contoh Man:
مَنْ
ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُوا الله قَرْضً حَسَنًا
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah dengan pinjaman yang baik”(QS.
Al-Baqarah: 245)
4. Nakirah sesudah Nafi
وَاتَّقُوْا يَوْمًا لَّا تَجْزِيْ
نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا
“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak
dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun”.(QS. AL-Baqarah: 123)
5. Isim maushul (kata
sambung)
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik berbuat zina”.(QS.
An-Nur: 4)
6. Jama’ yang dimu’rafkan
dengan Idhafah atau alif lam jinsiyah
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
“Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka”. (QS. At-Taubah: 103)
7. Isim mufrad yang
dima’rifahkan dengan alim lam jinsiyah
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah" (QS. An- Nur:
2)
c.
Macam-Macam
Al-am
Lafadz ‘Am terbagi menjadi tiga macam :
1. Am yang maksudnya benar-benar 'am (umum) secara
qat'i karena adanya qarinah (petunjuk) yang menghilangkan kemungkinan
kekhususannya, seperti lafaz:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِى
الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى الله رِزْقُهَا
"Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya". (QS. Hud: 6)
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ
كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
"Dan daripada air, Kami jadikan segala sesuatu
yang hidup". (QS. Al-Anbiya': 30)
Dari kedua
ayat diatas, dapat diperoleh pemahaman bahwa pada kenyataannya segala sesuatu
di bumi ini, hanya Allah yang memberikan rezeki. Menurut akal (aqli), segala
yang ada di dunia ini adalah berasal dari air. Dalil akal ini merupakan qarinah
bahwa kedua ayat diatas pasti 'am, tidak dimaksudkan makna khusus.
2. Lafaz 'am yang dimaksudkan untuk arti khusus karena
ada qarinah atau dalil menunjukkannya.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ
حِجُّ الْبَيْتِ
"Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban
manusia terhadap Allah".(QS. Ali Imran: 97)
Dapat
dipahami dalam ayat diatas, bahwa kewajiban haji adalah untuk semua orang,
tetapi berdasarkan petunjuk akal, orang yang berkewajiban haji adalah orang
mukallaf yang berakal, karena tidak mungkin anak kecil dan orang gila bisa
menunaikan haji. Dalil aqli inilah yang menjadi qarinahnya.
3. Lafaz 'am yang memang dimaksudkan untuk umum selama
tidak ada dalil yang menunjukkan arti lain (takhsis). Atau biasa disebut 'am
makhsus, yakni lafaz 'am yang khusus (dimaksudkan) untuk 'am ('am mutlak)
الْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوْءٍ
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru'..." (QS. Al-Baqarah: 228)
Ayat diatas
berarti semua wanita yang ditalak, baik dalam keadaan hamil atau tidak maka
masa 'iddahnya adalah tiga kali quru' (tiga kali suci atau tiga kali haid). Hal
ini disebabkan karena tidak adanya qarinah yang menjelaskan kekhususannya ataupun
menjelaskan keumumannya.[4]
d.
Pengertian
Al-khass
"Suatu
lafaz yang menunjukkan arti sesuatu yang terbatas dengan orang tertentu atau
bilangan tertentu".
Dari
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa lafaz khas adalah suatu lafaz yang
figunakan untuk menunjukkan arti tertentu atau khusus, baik berupa person
(orang) tertentu seperti isim alam (khalid, Muhammad,dsb); berupa jenis
seperti رجل،
فرس atau bisa berupa 'adad (bilangan)
seperti dua, tiga, sepuluh, tiga puluh, dll.[5]
e.
Karakteristik
Lafadz Khass
1) Diungkapkan dengan menyebut jumlah
Contoh:
الْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوْءٍ
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'..." (QS. Al-Baqarah: 228)
Maksud ayat diatas adalah seorang wanita yang ditolak oleh suaminya
hendaknya ber-'iddah selama tiga kali haid/suci. Dalam ayat diatas terdapat lafaz 'adad
(jumlah) yaitu lafaz ثلاث(tiga). Sehingga dapat dipahami bahwa lafaz diatas
termasuk lafaz khas karena diungkapkan dengan jumlah atau bilangan
2) Menyebut jenis (golongan, nama sesuatu,
nama orang)
Misal yang menunjukkan golongan:
اقْتُلُواالْمُشْرِكِيْنَ
حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُ
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu
dimana saja kamu jumpai”.(QS. At-Taubah: 5)
Yang termasuk lafaz khas pada ayat diatas adalah lafaz musyrik, karena
menunjukkan golongan tertentu saja, yaitu orang-orang yang syirik (menduakan
Allah)
Misal yang menunjukkan nama orang:
حَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ
"Muhammad itu adalah seorang
Rasulullah". (QS. Al-Fath: 29)
Lafaz "Muhammad diatas termasuk lafaz khas, karena menunjuk kepada satu pengertian yaitu
Nabi Muhammad SAW
3) Lafaz yang ada batasnya atau lafaz
idafah
Contoh:
وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَاً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
"Dan barangsiapa yang membunuh
seorang mukmin karena tersalah maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman". (QS. An-Nisa': 92)
Lafazرقبة
pada ayat diatas
termasuk lafaz khas karena telah ada sifat yang membatasinya yaitu lafaz مؤمنة.
Berarti budak yang wajib dimerdekakan disini adalah budak yang mukmin.[6]
f.
Macam-macam
Mukhassiss
Munfashil Muttashil[7]
Yakni
Mukhassis yang tidak berdiri sendiri, melainkan larasnya disebutkan setelah
atau bersamaan dengan dalil 'am. Ada beberapa macam bentuk Mukhassis Muttashil
diantaranya:
a) Istisna'
إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِيْ
خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُواالصَّالِحَاتِ
"Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal Shaleh". (QS. Al-'Ashr: 1-2)
b) Syarat
وَبُعُوْلَتُهُنَّ ٱَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ إِنْ أَرَادُوْا
إِصْلَاحًا
“Suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah”.(QS. Al-Baqarah: 228)
c) Sifat
مِنْ نِسَائِكُمُ الَّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
"Dari istri-istri yang telah kamu campuri".
(QS. An-Nisa': 23)
d) Ghayah
(batasan)
وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
“Dan janganlah kamu
mendekati mereka sampai mereka suci”. (QS. AL-Baqarah: 222)
ثُمَّ أَتِمُّ الصِّيَامَ اِلَى الَّليْلِ
“Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam”. (QS. Al-Baqarah: 187)
2) Mukhassis Munfashil[8]
a) Takhsis kitab dengan kitab
Seperti dalam firman Allah berkaitan dengan
masalah 'iddah perempuan yang ditolak oleh suaminya
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ
قُرُوْءٍ
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru'..." (QS. Al-Baqarah: 228)
Ayat diatas bersifat umum, kemudian ditakhsis dalam ayat yang lain:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ
“Dan wanita-wanita yang
hamil, waktu ‘iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS.
At-Thalaq: 4)
Jadi indahnya
wanita yang ditolak suaminya jika ia tidak hamil dan masih dalam keadaan subur
maka indahnya adalah tiga quru'. Namun,
jika wanita yang ditalak suaminya itu dalam keadaan hamil maka 'iddahnya
adalah sampai ia melahirkan anaknya
b) Takhsis kitab dengan sunnah حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
Ayat diatas ditakhsis dengan hadis Nabi SAW, yaitu:
هُوَ
الطُّهُوْرُ مَاءُهُ الْحَلُّ مَيْتَتُهُ
"Laut itu suci airnya dan halal bangkainya
c) Takhsis sunah dengan sunah
Hadis diatas menjelaskan bahwa tanaman yang disirami dengan air
hujan, zakatnya adalah sepersepuluh
Kemudian ditakhsis dengan hadis Nabi:
فيما سقت السماء العشر
Maksudnya tanaman yang kurang dari wasaq (tidak
mencapai nisab) maka tidak wajib dizakati
d) Takhsis kitab dengan ijma'
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا
بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً
Ayat diatas menjelaskan bahwa orang yang melakukan
qadzaf (menuduh orang berbuat zina) maka hanya adalah delapan puluh kali dera.
Namun, ayat diatas ditakhsis dengan
ijma' ulama' yang menyatakan bahwa seorang budak yang melakukan qadzaf
hukumannya setengah dari orang merdeka yaitu empat puluh kali dera.
e) Takhsis sunah dengan kitab
لَا يَقْبَلُ الصَّلَاةَ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak akan menerima
sholat salah seorang diantara kalian yang berhadas sehingga berwudlu”
Hadis diatas
memiliki pengertian yang luas, bahwa yang wajib menjalankan sholat adalah semua
orang, baik orang yang sakit, sehat, dalam bepergian ataupun di rumah jika
bernafas maka wajib berwudu. Hadis tersebut di takhsis dengan hadis lain yang
berbunyi:
"Jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan
atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan kemudian
kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci) ". (QS. An-Nisa': 43)
Dengan demikian maksudnya adalah orang yang sakit,
bepergian atau tidak mendapatkan air jika akan melaksanakan sholat maka tidak
wajib berwudu namun diwajibkan tayamum
B. Pembahasan Mutlak dan Muqayyad
a.
pengertian Mutlak
Kata
Muthlaq dari segi bahasa berarti “suatu yang dilepas/tidak terikat”. Dari akar
kata yang sama lahir kata thalaq (talak), yakni lepasnya hubungan suami maupun
istri sudah tidak saling terikat. Sedangkan kata Muqayyad dari segi bahasa
berarti “ikatan yang menghalangi sesuatu memiliki kebebasan gerak
(terikat/mempunyai batasan)”.[9]
Pengertian
mutlaq dan muqayyad secara terminologi menurut beberapa pakar Al-Qur’an,
diantaranya:
1. Manna Al-Qaththan Mutlaq adalah
lafadz yang menunjukkan suatu hakikat (dalam suatu kelompok) tanpa suatu qayid
(pembatas), hanya menunjukkan suatu dzat tanpa ditentukan (yang mana) dari
(kelompok) tersebut. Sedangkan muqayad adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat
dengan qayid (pembatas).[10]
2. T.M Hasbi Ash-shiddiqie
Mutlaq yaitu: “Lafadz yang menunjuk
kepada suatu benda atau beberapa anggota benda dengan jalan berganti-ganti.”
Sedangkan muqayad yaitu: “Lafadz yang menunjuk kepada suatu benda atau beberapa
anggota benda dengan ada suatu qayid.”[11]
3.Abdul Hamid Hakim Mutlaq adalah
“Lafadz yang menunjukkan sesuatu hakekat, tanpa ada satu ikatan dari (beberapa)
ikatannya.” Sedangkan muqayad adalah “Lafadz yang menunjukkan sesuatu
hakekat,dengan ada satu ikatan dari (beberapa) ikatannya.”[12]
Jadi
penulis dapat menyimpulkan dari beberapa pendapat diatas bahwa yang dinamakan
mutlaq adalah lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu hakekat tanpa ada batasan
(qayid) tertentu. Sedangkan muqayyad adalah lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu
hakekat dengan ada batasan (qayid) tertentu.
b.
Contoh Lafadz Mutlak dan Muqayyad
1. Contoh Mutlaq dalam
firman Allah,
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
“Maka (wajib atasnya) memerdekaan seorang
hamba sahaya.” (Qs. Mujadalah: 3). Lafadz رَقَبَةٍ adalah nakirah
dalam konteks kalimat positif. Maka disini berarti boleh memerdekakan hamba
sahaya yang tidak mukmin atau hamba sahaya yang mukmin.[13]
2. Contoh Muqayyad dalam
firman Allah,
رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ
“Maka hendaklah pembunuh itu memerdekakan
budak yang beriman.”
(Qs. An-Nisa’: 3). Lafadz رَقَبَةٍ disini tidak sembarangan hamba sahaya yang dibebaskan tetapi
ditentukan, hanyalah hamba sahaya yang beriman.[14]
c.
Hukum Lafadz Mutlak dan Muqayyad
Nas yang mutlaq hendaknya tetap
dipegang sesuai dengan sifat ke-mutlaqkannya selama tidak ada dalil yang
membatasinya, begitu juga dengan muqayyad. Lafadz mutlaq menjadi tidak terpakai
jika ada lafadz muqayyad yang menjelaskan sebab dan hukum tersebut.[15]
d.
Pembagian Lafadz Mutlak dan Muqayyad
Lafadz Mutlaq dan Muqayyad mempunyai
bentuk-bentuk yang bersifat rasional, bentuk-bentuk yang realistis sebagai
berikut ini.
1. Sebab dan hukumnya sama
Dalam hal
ini mutlaq harus ditarik pada yang muqayyad, artinya muqayyad menjadi
penjelasan mutlaq. Seperti “puasa” untuk kaffarah sumpah. Lafadz itu dalam
qiraah mutawatir yang terdapat dalam mushaf diungkapkan secara mutlaq,
فَمَنْ
لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ
إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ
“barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian,
maka kaffarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)...” (Qs. alMaidah: 89)
Lafadz فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ itu di-muqayyad-kan atau dibatasi
dengan kata “at-tatabu”, yaitu berturut-turut seperti dalam qiraah Ibnu Mas’ud
yang berbunyi “Maka kaffarahnya adalah berpuasa selama tiga hari
berturut-turut.”
Pengertian lafadz yang mutlaq ditarik kepada yang
muqayyad, karena “sebab” yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang
bertentangan.[16]
2. Sebab sama namun hukum berbeda
Dalam hal
ini masing-masing mutlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri. Contoh
mutlaq yang menerangkan tentang tayamum:
“Tayamum ialah sekali mengusap debu untuk muka dan
kedua tangan.” (HR. Ammar).
Contoh muqayyad yang menerangkan tentang wudhu:
“Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku” (Qs.
al-Maidah: 6)
Ayat yang
muqayyad tidak bisa menjadi penjelas hadits yang mutlaq, karena berbeda hukum
yang dibicarakan yaitu wudhu dan tayamum meskipun sebabnya sama yaitu hendak
shalat atau karena hadats.[17]
3. Sebab berbeda namun hukum sama
Dalam hal
ini ada dua pendapat:
a. Menurut golongan Syafi’i, mutlaq dibawa kepada
muqayyad.
b. Menurut golongan Hanafi dan Makiyah, mutlaq tetap
pada tempatnya sendiri, tidak dibawa kepada muqayyad.
Contoh mutlaq:
“orang-orang yang menzihar isterinya kemudian mereka
hendak menarik apa yang mereka ucapakan maka (wajib atasnya) memerdekakan hamba
sahaya sebelum keduanya bercampur.” (Qs. al-Mujadalah: 3).
Contoh muqayyad:
“Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan tidak
sengaja (karena kekeliruan) maka hendaklah membebaskan seorang hamba yang
mukmin”. (Qs. an-Nisa’: 92).
Kedua ayat
diatas berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak. Sedangkan sebabnya
berbeda, yang ayat pertama karena zhahir dan yang ayat yang kedua karena
pembunuhan yang sengaja.[18]
4. Sebab dan hukum berbeda Dalam hal inimasing-masing
mutlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri. Muqayyad tidak menjelaskan mutlaq.
Contoh mutlaq:
“Pencuri lelaki dan perempuan potonglah tangannya.”
Contoh muqayyad:
“Wahai orang mukmin, apabila kamu hendak shalat, maka
hendaklah basuh mukamu dan tanganmu sampai siku.” (Qs. al-Maidah: 6).
Ayat yang
muqayyad tidak bisa menjadi penjelas yang mutlaq, karena berlainan sebab yaitu
hendak shalat dan pencurian dan berlainan pula dalam hukum yaitu wudhu dan
potong tangan.[19]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Âm
ialah lafaz yang menunjukkan
pada jumlah yang banyak dan satuan yang termasuk di dalamnya, dan memiliki
ciri-ciri tertentu. Sedangkan khâs lafaz yang menunjukkan arti tunggal, baik
menunjuk jenis, macam, nama, atau isim jumlah yang pasti, dan menutup
kemungkinan yang lainnya. Namun terlepas dari ketentuan-ketentuan tersebut bisa
saja ada lafas umum, tetapi yang dimaksud adalah khusus. Demikian juga
sebaliknya, bisa saja ada lafaz khusus tetapi yang dimaksud adalah umum, tentu
dengan melihat kesesuaian konteks pembicaraannya.
Pengamalan
tuntutan lafaz âm wajib, kecuali ada dalil yang menunjuk selainnya. Dan apabila
ada lafaz âm karena sebab khusus, maka wajib mengamalkan keumumannya.
Apabila âm dan khâs datang bersamaan, maka yang âm di
takhshîsh oleh yang khâs. Tetapi jika âm datang kemudian, menurut hanafiyah,
khâs dinasakh oleh yang âm.
Muthlaq ialah
lafaz yang
menunjukkan pada hakikat lafaz itu apa adanya tanpa memandang jumlah maupun
sifatnya..
Sedangkan
muqayyad ialah lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz tersebut dengan
dibatasi sifat, keadaan, dan syarat tertentu.
Jika hukum dan obyek lafaz muthlaq sama dengan lafaz
muqayyad, maka disesuaikan dengan yang muqayyad. tetapi jika keduanya berbeda
dari segi hukum dan sebabnya, maka pengertian lafaz yang muthlaq tidak
disesuaikan dengan lafaz yang muqayyad.
Mutlaq
adalah lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu hakekat tanpa ada batasan (qayid)
tertentu. Sedangkan muqayyad adalah lafadz-lafaz yang menunjukan suatu hakekat
dengan ada batasan (qayid) tertentu. Lafadz mutlaq menjadi tidak terpakai jika
ada lafadz muqayyad yang menjelaskan sebab dan hukum tersebut. Pembagian lafadz
mutlaq dan muqayyad ada empat bentukbentuk yang realistis yaitu: sebab dan
hukumnya sama, sebab sama namun hukum berbeda, sebab berbeda namun hukum sama,
sebab dan hukum berbeda.
Daftar Pustaka
Syafi’i Karim, Fiqih
Ushul Fiqih, hlm. 175-176
A. Hanafie, Usul Fiqih,
(Jakarta: Widjaya, 1993), hlm. 76.
Manna Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, hlm. 305-306
Anang Zamroni, Suratno,
Mendalami Fikih 2, (Ttp: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013), hlm. 62
Syafi’i Karim, Fiqih
Ushul Fiqih, (Bandug: CV Pustaka Setia, 2006), hlm. 171-172
Manna Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, hlm. 304.
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 60-61
Manna Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), hlm.
304-305.
M. Quraish Shihab, Kaidah
Tafsir, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 188
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 231-234
Abdul Wahab Khallaf,
op.cit, 241
Romli, Studi
Perbandingan Ushul…,283-284
Fahim Tharaba, Hikmatut
Tasyri’ wa Hikmatus…, 190-191
Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh…, 237-238
Yahya, Mukhtar. Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islami, PT. Alma’arif. Bandung: 1986.
[1] Ahmad
Saebani & Januri, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), 243
[2] Wahbah
Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1986), 238
[3] Fahim
Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’I: Filsafat Hukum Islam, (Malang: CV
Dream Litera Buana), 182-183
[4] Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 231-234
[5] Abdul
Wahab Khallaf, op.cit, 241
[6] Romli, Studi
Perbandingan Ushul…,283-284
[7] Fahim
Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus…, 190-191
[8] Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh…, 237-238
[10] Manna
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2011), hlm. 304-305.
[11] T. M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981),
hlm. 60-61
[12] Abdul
Hamid Hakim, As-Sullam, (Jakarta: Pustaka As-Sa’adiyah Putra. 2007), hlm. 32
[13] Manna Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, hlm. 304.
[14] Syafi’i
Karim, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandug: CV Pustaka Setia, 2006), hlm. 171-172
[15] Anang
Zamroni, Suratno, Mendalami Fikih 2, (Ttp: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,
2013), hlm. 62
[16] Manna Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, hlm. 305-306
[17] A.
Hanafie, Usul Fiqih, (Jakarta: Widjaya, 1993), hlm. 76.
[18] Syafi’i
Karim, Fiqih Ushul Fiqih, hlm. 175-176
[19] Ibid,
173-174
Komentar
Posting Komentar